Pringsewu, Lampung – 25 Juni 2025 | Targetsiber.com –
Masyarakat petani di sejumlah pekon di Kecamatan Gadingrejo, Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung, mengeluhkan sulitnya mendapatkan pupuk subsidi sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditetapkan pemerintah. Siapa yang diduga berada di balik masalah ini? Informasi yang dihimpun menyebutkan bahwa istri dari Kepala Pekon Wonodadi Utara, Shelly, menjadi pusat distribusi pupuk subsidi di wilayah tersebut dan bekerja sama dengan beberapa pekon lainnya.
Apa yang terjadi?
Pupuk subsidi yang seharusnya dijual sesuai HET, yakni antara Rp230 ribu hingga Rp250 ribu per kuintal, justru diduga diperjualbelikan dengan sistem barter menggunakan gabah seberat satu kuintal per 100 kg pupuk. Jika dihitung, gabah petani bernilai sekitar Rp650 ribu, yang berarti harga pupuk melonjak lebih dari dua kali lipat dari HET. Praktik ini dinilai sangat merugikan petani dan berpotensi masuk ke ranah pidana karena melanggar ketentuan subsidi dan memberatkan petani secara ekonomi.
Di mana dan kapan terjadi?
Kejadian ini terungkap di Kecamatan Gadingrejo, terutama di Pekon Tambahrejo, Gadingrejo Induk, dan Wonodadi Utara. Kasus ini mencuat sepanjang pertengahan tahun 2025, dan keluhan petani mulai disampaikan kepada awak media sejak awal Juni hingga puncaknya pada 25 Juni 2025.
Siapa saja yang terlibat?
Istri Kepala Pekon Wonodadi Utara, Shelly, mengakui bahwa dirinya memiliki kios pupuk subsidi dan bermitra dengan tiga pekon di Kecamatan Gadingrejo. Kepala Pekon Tambahrejo, Supri, juga membenarkan bahwa pihaknya membeli pupuk dari kios yang dikelola istri Kepala Pekon Wonodadi Utara. Namun, saat diminta keterangan lebih lanjut terkait harga dan mekanisme pembayaran, ia enggan memberikan penjelasan mendalam.
Mengapa hal ini menjadi masalah?
Pupuk subsidi diberikan oleh pemerintah untuk meringankan beban petani dan meningkatkan produktivitas pertanian. Ketika subsidi tersebut diperdagangkan secara tidak wajar—dengan harga jauh di atas HET atau melalui sistem barter yang merugikan—tujuan program subsidi menjadi sia-sia. Selain merusak tatanan distribusi, praktik ini juga membuka ruang bagi oknum tertentu untuk memperkaya diri di atas penderitaan petani kecil.
Bagaimana tanggapan pihak terkait?
Shelly, saat dikonfirmasi melalui sambungan WhatsApp, mengaku tidak mengetahui secara pasti bagaimana kelompok tani melakukan pembayaran, namun menyatakan bahwa pihaknya hanya menjual sesuai mekanisme yang telah disepakati. Ia juga mengklaim tidak melanggar aturan karena bekerja sama dengan kelompok tani.
Sementara itu, seorang aktivis lokal menyatakan bahwa praktik semacam ini jelas melanggar hukum dan tidak bisa dibiarkan. “Ini bukan lagi pelanggaran administratif, tetapi bisa dikategorikan sebagai tindak pidana karena menyalahgunakan distribusi pupuk bersubsidi,” tegasnya.
Apa yang diminta oleh masyarakat?
Masyarakat mendesak pemerintah daerah, Dinas Pertanian, hingga aparat penegak hukum, termasuk Kejaksaan dan Polres Pringsewu, untuk segera turun tangan melakukan penyelidikan mendalam. Mereka menuntut adanya audit, pemeriksaan distribusi, dan penindakan tegas terhadap oknum yang terbukti menyalahgunakan pupuk subsidi untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
(*TIM Redaksi*)
